<$BlogMetaData$>

Friday, April 27, 2007

Botol Acar

Sejauh sepengingatanku, botol acar terletak di lantai bersebelahan dengan lemari pakaian di kamar tidur orang tuaku. Apabila papa hendak tidur, dia akan mengosongkan isi kantongnya dan menjatuhkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Ketika koin-koin itu jatuh ke dalam botol yang masih kosong, mereka akan berbunyi sangat nyaring. Kemudian bunyinya perlahan akan melemah ketika botol telah terisi. Aku selalu jongkong di lantai di depan botol acar itu dan mengagumi bulatan tembaga dan perak yang berkilauan ketika matahari masuk melalui jendela seperti sebuah harta karun. Pada saat botol itu sudah terisi penuh, papa akan duduk di meja dapur dan memutar koin-koin itu sebelum dibawa ke bank. Membawa koin ke bank selalu merupakan pekerjaan besar. Tertumpuk rapi di sebuah kotak kecil, uang-uang itu diletakkan diantara kursi papa dan kursiku di truk tuanya.

Setiap saat selama kami menuju ke bank, papa akan memandang penuh harap kepadaku.

"Koin-koin itu akan membawamu jauh dari pabrik textile ini, Nak. Kamu akan lebih baik dari pada aku. Kota dengan pabrik tua ini tidak akan bisa menahanmu."

Dan juga, setiap saat ketika dia membawa kotak yang berisi uang logam tersebut melewati counter menuju teller, dia akan tersenyum dengan bangga.

"Ini adalah uang untuk biaya sekolah anakku. Dia tidak akan mengabdikan hidupnya di pabrik ini seperti aku."

Kamipun selalu merayakan setiap tabungan dengan membeli es krim. Aku selalu membeli rasa coklat dan papa selalu rasa vanilla. Ketika kasir di tempat es krim memberi kembalian kepada papa, dia akan menunjukkan kepadaku koin-koin yang ada di telapak tangannya.

"Begitu kita tiba di rumah, kita akan mulai mengisi botol lagi."

Dia selalu membiarkanku menjatuhkan koin pertama kedalam botol yang kosong. Pada saat koin-koin itu bergemerincingan dengan gembiranya di botol, kamipun saling tersenyum.

"Kamu akan kuliah dari setiap 1 sen, 5 sen, 10 sen dan 25 sen ini", katanya. "Tapi kamu pasti berkuliah. Saya dapat melihatnya."

Tahun-tahun berganti dan aku menyelesaikan kuliah kemudian bekerja di kota lain. Suatu kali, ketika mengunjungi orang tuaku, aku memakai telepon yang ada di kamar mereka dan memperhatikan bahwa botol acar itu sudah tidak ada lagi. Botol itu sudah berubah fungsi ke fungsi dasarnya dan telah dipindahkan. Perasaanku tersumbat pada tenggorokanku pada saat aku melihat tempat kosong di sebelah lemari pakaian, tempat dimana botol acar itu selalu berada. Papa adalah seorang yang sangat jarang bicara dan tidak pernah mengajariku mengenai harga kebulatan tekad, ketekunan dan keyakinan. Dengan botol acar inilah dia menunjukkan perbuatan-perbuatan baiknya itu, ini lebih berharga dibandingkan kata-kata yang muluk-muluk.

Ketika aku menikah, aku menceritakan kepada isteriku mengenai botol acar yang tidak berharga yang mempunyai peranan penting saat aku masih muda. Dalam pikiranku, itu membuktikan lebih dari apapun betapa papa sangat mencintaiku. Tidak peduli bagaimana beratnya keadaan di rumah, papa terus menetapkan hati untuk menjatuhkan koin ke dalam botol. Bahkan ketika papa dipecat dari pabrik dan mama hanya menyajikan biji-bijian yang dikeringkan beberapa hari dalam seminggu, tidak pernah sesen pun diambil dari botol. Sebaliknya, saat papa memandangiku diseberang meja, dia menjadi semakin meyakinkan dirinya untuk menemukan jalan keluar bagiku.

"Ketika kamu sudah lulus kuliah Nak," dia berkata padaku dengan mata yang berkaca-kaca, "Kamu tidak akan pernah makan biji-bijian lagi.. kecuali kalau kamu memang menginginkannya".

Natal pertama setelah anak kami, Jessica lahir, kami menghabiskan liburan bersama orang tuaku. Setelah makan malam, mama dan papa duduk berdampingan di sofa, mengemong cucu pertama mereka. Jessica mulai merengek pelan dan Susan mengambilnya dari tangan papa.

"Mungkin popoknya harus diganti." katanya, menggendong Jessica ke kamar orangtuaku untuk mengganti popok.

Ketika Susan kembali ke ruang keluarga, ada pandangan aneh di matanya. Dia memberikan Jessica kembali kepada papa sebelum menarik tanganku dan membawaku ke kamar.

"Lihat", dia berkata lirih, matanya menuntunku melihat ke lantai di sebelah lemari pakaian.

Sangat menakjubkan, disana, seperti tidak pernah dipindahkan, berdiri botol acar tua, di dasarnya sudah dipenuhi dengan koin-koin. Aku mendekati botol acar tersebut, merogoh isi kantongku dan menarik segenggam penuh koin. Dengan penuh perasaan, kujatuhkan koin-koin itu kedalam botol acar. Aku mengangkat pandangan dan melihat papa menggendong Jessica masuk perlahan ke dalam kamar. Kami beradu pandangan, dan aku tahu dia merasakan perasaan yang sama denganku. Tidak ada satupun dari kami yang mampu bicara.

Ini sangat menyentuh hatiku... Aku tahu ini juga menyentuh hatimu. Terkadang kita terlalu sibuk menambah daftar penderitaan kita sehingga lupa menghitung berkat-berkat kita. Penderitaan selalu membawa kita melihat ke belakang. Kekhawatiran mengintai di sekeliling kita. Iman selalu membawa kita kepada PENGHARAPAN.
Bookmark and Share
posted by Rahmad at 5:12 AM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home